Buka Kotak

Warisan Budaya Topeng Jawa

TOPENG & TRADITION

Topeng Jawa, yang terinspirasi dari kisah Panji, merupakan salah satu dari banyak tradisi topeng di Nusantara. Tradisi ini bermula di Jawa Timur dan kemudian menyebar ke berbagai daerah.

Di tiga desa di Jawa—Kedungmonggo di Malang, Bantul di Yogyakarta, dan Pekandangan di Indramayu—tradisi tari topeng terus hidup dan berkembang, masing-masing dengan gaya yang khas. Berakar dari kisah Panji, topeng-topeng Jawa ini merupakan bagian dari kekayaan tradisi topeng di seluruh Nusantara. Bermula di Jawa Timur, narasi Panji menyebar luas dan menjadi tema utama dalam berbagai pertunjukan tradisional.

Javanese Masks

TOPENG

Narasi utama dalam tradisi topeng Jawa; berasal dari Jawa Timur dan menyebar ke seluruh Nusantara.

Tradisi topeng di Indonesia telah ada sejak zaman prasejarah, dengan topeng emas dan motif yang ditemukan pada artefak di situs seperti Pasir Angin (sekitar 1000 SM). Topeng pemakaman juga telah ditemukan di Gilimanuk, Makassar, Jawa Timur, dan Sulawesi Tengah. Dikenal dengan nama Tapel, Raket, atau Topen, topeng-topeng ini disebutkan dalam teks-teks kuno seperti Arjuna Wiwaha dan Kakawin Negarakertagama (1365 M), yang menyoroti pentingnya nilai budaya mereka.

Rujukan terhadap topeng muncul dalam teks-teks kuno seperti Arjuna Wiwaha, Negarakertagama, dan lainnya, yang menunjukkan betapa pentingnya peran tradisi ini dalam budaya Jawa.

Cerita ini menyoroti tiga tradisi topeng daerah yang berbeda, masing-masing berakar di wilayah yang berbeda di Jawa.

    • Kedungmonggo, Malang (Jawa Timur) – Rumah bagi Topeng Malangan
    • Bantul, Yogyakarta (Jawa Tengah) – Dengan warisan Kyai Goweng
    • Pekandangan, Indramayu (Jawa Barat) – Tempat Mimi Rasinah menjaga kelangsungan seni ini

KISAHNYA

Cerita dimulai di Padepokan Asmarabangun di Desa Kedungmonggo, Malang—sebuah studio tari dan industri rumahan pembuatan topeng yang telah diwariskan selama beberapa generasi. Semua bermula dari Bapak Karimun, yang lebih dikenal sebagai Mbah Mun, yang mewariskan koreografi tari dan teknik pembuatan topeng kepada cucunya, Handoyo, yang merupakan generasi kelima penerus tradisi topeng Malangan.

Seni pembuatan topeng di Kedungmonggo sudah ada sejak sekitar tahun 1900, dimulai dari kakek Mbah Mun, yaitu Mbah Serun. Mbah Serun belajar dari Bapak Gunawan dari Mbanglan, Kromengan, dekat Gunung Kawi. Awalnya, seni topeng ini dikenal dengan nama Pendowo Limo, yang terinspirasi dari kisah Purwa dalam Ramayana Mahabharata.

Mbah Serun mewariskan tradisi ini kepada putranya, Kiman, yang juga dikenal sebagai Mbah Tahyo, dan kemudian dilanjutkan kepada Mbah Karimun. Masa Mbah Karimun penuh tantangan, terutama selama periode kolonial dari 1945 hingga 1965. Pada tahun 1965, ia terpaksa menghentikan seni ini selama beberapa tahun karena gerakan G30S/PKI yang melarang segala bentuk ekspresi seni. Secara bertahap, dengan bantuan putranya, Taslan Harsono, Mbah Karimun berhasil menghidupkan kembali seni tersebut.

Handoyo, sang cucu, mengenang tradisi lama ketika desa-desa merayakan panen raya dengan pertunjukan selama musim panen. Pada tahun 1970-an, permintaan topeng mulai meningkat kembali, dan pada tahun 1978, Kedungmonggo wayang topeng (Kelompok wayang topeng) terpilih mewakili Jawa Timur dalam sebuah festival di Jakarta. Mereka tinggal di Jakarta selama sebulan, dan setelah kembali, mulai mendapatkan perhatian dari pemerintah yang kemudian membangun Padepokan Asmarabangun.

Ayah Handoyo, Bapak Taslan, meninggal dunia pada tahun 1992, saat Handoyo masih duduk di kelas dua SMP. Pembuatan topeng merupakan satu-satunya sumber penghasilan ayahnya, dan ibunya berkata, “Nak, kita punya pesanan topeng. Kalau tidak kita buat, kita tidak akan punya uang.” Saat itulah Handoyo pertama kali belajar membuat topeng sekaligus belajar menari.

Awalnya, Handoyo enggan, namun ia tetap melanjutkan belajar di bawah bimbingan Mbah Mun. Pada tahun 1996, Mbah Mun mengalami kecelakaan yang menyebabkan kedua kakinya patah, sehingga Handoyo harus mengambil alih untuk menjaga kelangsungan seni ini. Pesanan topeng yang terus datang mendorongnya belajar mengatur pertunjukan, selalu dengan bimbingan kakeknya. Inilah cara Handoyo mengasah kemampuannya. Secara gaya, topeng-topeng karya Mbah Mun dikenal dengan karakter yang tegas dan kasar—bahkan topeng Panji buatannya memiliki nuansa yang kuat—yang menurut Handoyo mencerminkan warisan Madura dari kakeknya.

Handoyo masih menyimpan beberapa topeng karya Mbah Mun, beserta beberapa yang dibuat oleh ayahnya. Dedikasi mereka yang tak tergoyahkan terhadap seni ini menginspirasi Handoyo untuk melanjutkan, meskipun kini penggemarnya semakin sedikit. Ia menyaksikan komitmen mereka terhadap kerajinan ini, tak peduli apakah mereka memiliki makanan di meja atau tidak, dan kini ia merasa memiliki tanggung jawab yang besar untuk meneruskan tradisi ini.

Di daerah lain, seperti kota Malang, gerakan tari cenderung lebih halus, dengan angkatan tangan dan kaki yang lambat untuk menghindari gerakan yang patah atau kasar. Namun, di Kedungmonggo, para penari diajarkan untuk mengangkat tangan dengan tegas hingga mencapai ketiak.

Mbah Mun always emphasized that Kedungmonggo’s Topeng Malang merupakan bentuk seni yang ditandai dengan gerakan kuat dan patah. Ia juga mengajarkan gerakan tangan tertentu, seperti gerakan lembut untuk karakter Panji, gerakan Supit Urang Tertutup gerakan (cakar udang tertutup) untuk karakter Sabrang dan Satria, serta gerakan dramatis Boyo Mangap gerakan (mulut buaya terbuka) yang diperuntukkan bagi karakter raja seperti Klono.

guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

.:: GALLERY ::.

topeng b (15)
topeng b (14)
topeng b (13)
topeng c (1)
topeng b (19)
topeng b (9)
topeng b (8)
topeng b (6)
topeng b (2)
topeng b (2)
Load More

End of Content.

.:: VIDEO TOPENG ::.