
Bali, Pulau Dewata, memiliki warisan budaya yang kaya dan tak ternilai, mencakup tari, musik, sastra, arsitektur, hingga tokoh-tokoh legendaris. Lontar dan Legong adalah warisan yang tiada duanya di dunia.
Mahatari Legong yang diciptakan pada abad ke-19 adalah mahakarya budaya yang memadukan keanggunan, keindahan, dan kedalaman spiritual. Berakar dari tradisi Bali, tarian ini menampilkan koreografi elegan yang berpadu dengan irama gamelan yang dinamis. Tokoh-tokoh penting seperti Anak Agung Gde Oka Dalem dan Biyang Bulan (Ibu Bulantrisna) berperan besar dalam melestarikan dan mengembangkan tarian ini agar tetap relevan. Hingga kini, tarian ini tetap menjadi simbol warisan seni Bali yang memikat penonton di seluruh dunia.
Mahatari Legong, yang dikatakan diciptakan pada abad ke-19 oleh Raja I Dewa Agung Made Krisna dari Kerajaan Sukawati Bali, terinspirasi dari mimpinya tentang para malaikat yang menari saat meditasi. Meskipun sebagian orang mengaitkan asal-usulnya dengan visi kerajaan ini, sumber sejarah lain menyarankan bahwa Legong berkembang dari tarian sakral lebih tua seperti Sang Hyang yang menceritakan kisah Gambuh atau Malat dari cerita Panji.. Name Legong adalah kombinasi leg (gerakan anggun) dan gong (irama musik), mencerminkan koreografi tarian yang elegan dan iringan gamelan yang dinamis.
Secara tradisional dipentaskan oleh gadis berusia 13-14 tahun, Mahatari Legong dikenal karena kelenturan dan keanggunan penarinya yang muda. Ditemani dengan musik gamelan dinamis yang menampilkan drum dan gong, setiap gerakan diatur dengan waktu yang tepat mengikuti irama, memperkuat dampak visual dan emosional. Selain keindahannya, tarian ini juga berfungsi sebagai bentuk penceritaan, dengan gerakan yang mengekspresikan kemurnian. (Satyam), kebenaran (Siwam), dan kecantikan (Sandaran).
Mahatari Legong yang tertanam dalam budaya Bali tetap dilestarikan di desa-desa tradisional seperti Teges, Saba, dan Peliatan, di mana bentuk klasiknya masih dipraktikkan. Meskipun adaptasi modern terus mengembangkan pertunjukan ini, mereka tetap menghormati dan mempertahankan akar sakral dan budaya dari tarian ini.
Anak Agung Gde Oka Dalem dan Biyang Bulan (Ibu Bulantrisna) memainkan peran penting dalam mempertahankan Legong. Gde Oka Dalem tetap berkomitmen untuk melestarikan bentuk klasiknya melalui pengajaran yang berakar pada tradisi kerajaan, sementara Biyang Bulan membawa tarian ini ke audiens yang lebih luas dengan interpretasi yang menghormati kedalaman spiritual dan budaya tarian tersebut. Bersama-sama, mereka memastikan Legong tetap hidup dan tetap bermakna lintas generasi.
Bentuk klasik Legong telah dilestarikan di desa-desa seperti Teges, Saba, dan Peliatan, tempat para guru besar dari berbagai daerah, seperti Bapak Lotering dari Kuta, Ibu Reneng dan Ida Bagus Boda dari Denpasar, Gusti Djelantik dari Saba, serta Biyang Sengong dan Anak Agung Mandera dari Peliatan, berkumpul untuk belajar bersama para maestro Legong di Sukawati. Para guru ini berperan penting dalam memastikan kelangsungan tarian ini. Sementara Legong klasik berkembang di desa-desa ini, interpretasi modern tarian ini juga berkembang di berbagai lokasi di Bali dan luar negeri.
Tokoh-tokoh penting seperti Anak Agung Gde Oka Dalem dan Biyang Bulan (juga dikenal sebagai Ibu Bulantrisna Djelantik)) telah berperan penting dalam memastikan Legong tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang lintas generasi. Lahir di Pura Kaleran, Peliatan, Gde Oka Dalem mewarisi semangat pelestarian dari almarhum ayahnya, Anak Agung Gde Ngurah Mandera, dan ibunya, Jero Wiraga.. Sebagai guru yang disegani dan pendiri Balerung Mandera Srinertya Waditra, beliau mengabdikan hidupnya untuk mengajarkan tari dan gamelan, memastikan tradisi pertunjukan Bali klasik, khususnya Legong, diteruskan ke generasi muda. Beliau telah mengamati dan berkontribusi pada evolusi gaya Legong selama beberapa dekade—mulai dari keanggunan mengalir di tahun 1930-an, penyempurnaan dinamis di tahun 1970-an, hingga semangat ekspresif pada pertunjukan masa kini.
Sementara itu, Biyang Bulan, yang dengan penuh kasih dipanggil Bulan Trisna atau Trisna dalam keluarga, jatuh cinta pada tari sejak usia tujuh tahun.
Trisna belajar berbagai jenis tari sejak kecil, seperti tari Oleg dan Baris dari maestro Bali saat ia berusia 7 tahun. Ia sangat ingin mempelajari Legong, dan akhirnya ia bersama kakaknya di Peliatan menyaksikan Legong Kraton yang mempesona. Trisna dan kakaknya, bersama ayah mereka, berkumpul dengan komunitas dari Anak Agung Mandera Puri Kaleran di Peliatan. Di sana ada seorang guru, yang disebut Biyang Sengong, yang fokus mengajarkan gerakan teknis dan gestur Legong Peliatan di Puri Kaleran. Biyang Sengong dan Anak Agung Gde Mandera adalah dua tokoh yang tanpa lelah mengenalkan Legong gaya Peliatan kepada khalayak yang lebih luas.
Biyang dikenal sebagai penari Condong dan Gowa yang mahir sejak kecil, dan bahkan ketika usianya 70 tahun, ia masih menari bagian ini. Meskipun ia mempelajari tari lainnya, dan juga dikenal sebagai penari Oleg dan Trunajaya, ia memiliki tempat khusus di hati untuk Legong. Ia sangat mencintai Legong karena tarian ini membawanya ke banyak tempat sejak kecil. Cinta besarnya pada Legong membawanya meraih penghargaan MURI sebagai penari Condong dengan penampilan terlama, dari usia 7 hingga sekitar 55 tahun, tanpa pernah berhenti atau pensiun.
Ibu Bulantrisna menguasai gaya Legong Peliatan karena dia benar-benar mencurahkan hidupnya untuk itu. Ia datang untuk belajar di Desa Peliatan. Keterampilan menari itu penting, tetapi lingkungan juga membantu membangun ekspresi dan karakter individu. Dulu, ia sering berlatih mengikuti kendang ayah saya dan gong Gunungsari, terkadang tiga kali sehari. Ini adalah saya menari Legong gaya Peliatan. Selain menari Legong, penari Condong juga adalah penari Oleg Tambulilingan, yang dulu berpasangan dengan kakak saya dan mereka sering menari di Istana Negara Tampaksiring.
Gamelan yang mengiringi Tari Legong adalah Smara Patangian atau Smara Awungu dengan gending Pasendon (lagu) yang berdasarkan gamelan Semara Pagulingan yang indah.
Gerakan dasar dan estetika fisik Legong atau adeg-adeg dibagi menjadi posisi kaki, posisi tubuh, posisi tangan, dan posisi kepala.
Melalui kehidupan dan warisan seniman seperti Gde Oka Dalem dan Bulantrisna Djelantik, Legong terus tetap sakral dan hidup hingga hari ini, seperti layaknya hidup di istana kerajaan ratusan tahun yang lalu.