Buka Kotak

Motif Agung: Warisan Yang Terus Hidup

Lesley S. Pullen membahas hubungan antara seni tekstil dan seni pahat di era Jawa klasik.

Sejarawan seni Lesley S. Pullen menelusuri bagaimana patung-patung klasik Jawa secara mendetail menggambarkan pola tekstil, mengungkap peran pulau Jawa dalam perdagangan kuno dan kekuatan simbolik kain dalam seni religius dan kerajaan. Dokumenter "A Patterned Splendor" menyoroti candi-candi Kalasan, Prambanan, dan Singosari—tempat asal motif-motif tersebut—serta menampilkan warisannya melalui koleksi tekstil Museum Ullen Sentalu.

Lesley Lesley S. Pullen adalah sejarawan seni yang mengkhususkan diri pada budaya material Asia Selatan dan Tenggara pada masa abad pertengahan. Ia meraih gelar doktor dari SOAS, University of London pada tahun 2017, dengan penelitian tentang representasi tekstil dalam pahatan klasik Jawa. Lesley telah banyak menulis tentang seni Jawa dan mengajar Seni Asia Tenggara di SOAS serta Museum Victoria & Albert sejak 2015.

MOTIF AGUNG: WARISAN YANG TERUS HIDUP

Mataram mencapai puncak kejayaannya antara abad ke-8–10 dengan membangun candi agung seperti Prambanan dan Borobudur. Hubungan budaya erat juga tercipta antara Jawa dan Champa, menunjukkan dinamika Austronesia yang saling terhubung.

Candi Kalasan memuliakan Dewi Tara dengan relief megah. Patung Dwarapala yang ditemukan menunjukkan perpaduan gaya India dan Jawa lewat tekstil berukir dan simbol penjaga spiritual.

Prambanan tak hanya megah secara arsitektur, tapi juga sarat makna spiritual. Ikonografi Siwa dan prasasti Ratu Baka menunjukkan penerimaan ajaran Tantrik di Jawa abad ke-9.

Ullen Sentalu memadukan seni, batik, dan sejarah Jawa dalam satu ruang. Letaknya yang simbolis dan koleksi seperti Batik Vorstenlanden hingga Batik Peranakan menjadikannya tempat pelestarian budaya yang hidup.

Periode Singosari membawa seni patung ke puncak detail dengan pengaruh kosmopolitan dari Cina, Asia Tengah, dan kepercayaan lokal di bawah Raja Kertanegara. Patung Dewi Parwati menampilkan pola kain lintas benua, mencerminkan peran Jawa dalam perdagangan tekstil dunia. Meskipun tiga patung rusak di Singosari, sisa motif kawung tetap menunjukkan status tinggi dan kekuatan simbolik dalam seni kerajaan Jawa. bermotif kawung, motif still signify high status and the symbolic power preserved in Javanese royal art.

Pada era Majapahit, sinjang bermotif kawung menjadi simbol eksklusif raja dan ratu. Tekstil bukan sekadar busana, melainkan lambang kekuasaan yang hanya diperbolehkan bagi mereka yang berdarah biru.

ERA MATARAM KUNO

Kerajaan Mataram, kadang disebut sebagai Kerajaan Mataram Kuno, adalah kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha dan berpusat di Jawa Tengah, yaitu di sekitar wilayah Yogyakarta saat ini, yang berlangsung pada abad ke-8 hingga ke-10. Kerajaan ini diperintah oleh Dinasti Sailendra dan kemudian oleh Dinasti Sanjaya. Candi Hindu monumental Prambanan dekat Yogyakarta dibangun pada era ini yaitu abad ke-10.

Pada tahun 750 M—850 M, kerajaan ini mengalami masa keemasan seni dan arsitektur Jawa Klasik. Terjadi peningkatan pesat dalam pembangunan candi di seluruh wilayah inti kerajaan Mataram (Dataran Kedu). Beberapa candi yang paling terkenal yang dibangun pada masa Mataram antara lain Candi Kalasan, Sewu, Borobudur, dan Prambanan. Mataram Kuno menjadi kerajaan yang sangat kuat di Jawa dan memiliki kuasa atas Kerajaan Sriwijaya, Bali, Thailand selatan, beberapa kerajaan di Filipina, dan Khmer di Kamboja.

Kerajaan-kerajaan Jawa menjaga hubungan erat dengan kerajaan Champa di daratan Asia Tenggara sejak masa Dinasti Sanjaya. Seperti halnya orang Jawa, orang Champa juga merupakan bangsa Austronesia. Contoh hubungan mereka terlihat dalam arsitektur candi-candi Champa, yang memiliki beberapa kesamaan dengan candi-candi di Jawa Tengah yang dibangun di era Dinasti Sanjaya.

Map of trade routes 8th to 15th centuries

Candi Kalasan

Kalasan Temple

Candi Buddha ini memiliki denah persegi dengan satu ruangan besar dan tiga ruangan kecil. Di dalam ruangan besar terdapat sebuah altar yang dulunya menopang arca utama. Diyakini bahwa arca tersebut adalah patung perunggu besar Dewi Tara. Di bagian luar candi, di sekitar setiap pintu, terdapat relief vertikal daun bunga teratai yang menggulung ke atas dan ke bawah bangunan. Relung-relung di sekitar Candi Kalasan dihiasi dengan ukiran kepala Kala dan adegan dewa-dewi: dewata dan apsara dalam konteks surga Hindu-Buddha.

Arca ini dwarapala atau arca penjaga yang terbuat dari batu berasal dari abad ke-11 dan berada di taman Museum Sonobudoyo hingga sekarang. Pola tekstil pada patung ini sangat mirip dengan pola yang berasal dari Jawa Tengah, yaitu menggambarkan bunga empat kelopak sederhana dengan pinggiran disulam. Gaya berpakaian ini secara akurat meniru gaya dhoti dari India, di mana kain ditarik di antara kaki, diselipkan di belakang, diikat dengan ikat pinggang logam, dan ditutupi dengan selempang kain. Ukiran detail pola pinggiran pada tekstil dan rantai pada ikat pinggang menunjukkan keahlian pengrajin yang berbakat. Arca ini memiliki anting-anting besar, mata melotot, dan rambut yang berkibar; semua aspek ini menunjukkan karakternya sebagai sosok penjaga.

Pola tekstil pada arca Dwarapala
Arca Dwarapala

Candi Prambanan

Candi Prambanan

Kompleks candi Prambanan adalah salah satu candi Hindu paling penting di Asia Tenggara, yang menyaingi Borobudur (candi Buddha terbesar di dunia). Dibangun pada abad ke-10, Candi Prambanan adalah kompleks candi terbesar yang didedikasikan untuk Dewa Siwa di Indonesia. Menjulang di atas pusat alun-alun konsentris terakhir terdapat tiga candi yang dihiasi dengan relief yang menggambarkan kisah epik Ramayana, didedikasikan untuk tiga dewa utama Hindu (Siwa, Wisnu, dan Brahma).

Simbolisme akademis di kompleks candi Prambanan terungkap dalam ikonografinya, yang didominasi oleh citra Siwa dengan empat lengan, Sang Guru Agung—representasi khas Indonesia untuk dewa tertinggi. Prambanan menegaskan jalur Siwa menuju keselamatan; jalur ini diindikasikan dalam prasasti tahun 856, yang menyiratkan bahwa raja telah mempraktikkan asketisme, bentuk ibadah yang paling dapat diterima oleh Siwa. Dengan demikian, Siwaisme dan Buddhisme Mahayana menjadi terbuka terhadap pengaruh Tantrik di Jawa.

Sebuah prasasti yang berasal dari era yang hampir sama di dataran tinggi Ratu Baka, tidak jauh dari kompleks Candi Prambanan, memberikan bukti lebih lanjut tentang Tantrisme; prasasti tersebut menyinggung ritual khusus untuk membangkitkan energi ilahi Siwa melalui perantara pendamping ritual.

Pola tekstil pada patung Siwa
Pola tekstil pada patung Siwa
Patung Siwa di Candi Sewu
Pola tekstil detil pada patung Siwa

Museum Ullen Sentalu

Museum Ullen Sentalu

Ullen Sentalu, Museum Seni, Budaya, dan Alam Jawa, terletak di kaki Gunung Merapi, di bagian utara garis makro-kosmologi Kerajaan Mataram yang sekarang, dengan wilayah kerajaan berakhir di Laut Selatan, di sisi selatan Daerah Istimewa Yogyakarta. Museum ini memiliki koleksi Batik Vorstenlanden yang berasal dari istana Keraton dan Puro di Yogyakarta dan Surakarta.

Museum ini juga terletak di pusat Kerajaan Mataram Kuno, di mana kompleks candi Prambanan dari Kerajaan Sanjaya berada di Timur dan candi Borobudur dari Kerajaan Syailendra berada di Barat.

Tradisi ukiran batu relief dan patung dari Kerajaan Mataram Kuno masih hidup hingga hari ini, dan saya menyaksikan relief dan patung yang mengesankan di Museum Ullen Sentalu.

Di Museum juga terdapat ruang Esther Huis yang melestarikan pola-pola mahakarya Batik Peranakan dari budaya Hindia.

Sejarah Indonesia sangat dipengaruhi oleh geografi, perdagangan, agama, dan ekspresi seni. Jawa memainkan peran sentral dalam perdagangan internasional selama periode Medang dan Singhasāri, menarik kapal-kapal dari India dan Cina, seperti yang tercatat dalam catatan Jawa dan Cina. Masyarakat Jawa terkenal dengan patung-patung religius mereka yang terbuat dari perunggu, emas, perak, dan batu, yang memiliki makna spiritual yang dalam dan menunjukkan keahlian kerajinan yang tinggi. Lanskap religius Jawa mencerminkan perpaduan sinkretis antara Hindu dan Buddha, yang tampak dalam gaya patung-patungnya. Ziarah ke India dan pertukaran budaya mempengaruhi seni lokal, sementara kerajinan logam dan tekstil Jawa mungkin, pada gilirannya, menginspirasi desain-desain Tibet. Jawa dan Sumatra juga mengembangkan budaya tekstil yang canggih, yang sering tercermin dalam ukiran detail pada patung-patung mereka.

Singhasari​

Dokumentasi dalam bentuk prasasti dan monumen di Jawa Tengah berhenti setelah awal abad ke-10. Bukti dari peristiwa-peristiwa selama tahun-tahun ini hampir seluruhnya berasal dari lembah Sungai Brantas dan lembah-lembah lain yang berdekatan di Jawa Timur. Pergeseran mendadak dalam pusat pendokumentasian ini belum pernah ada penjelasan yang memuaskan.

Perubahan kondisi ekonomi di nusantara memiliki dampak penting di Jawa yang dimulai pada abad ke-13; namun, jauh sebelum abad ke-12, kapal-kapal Cina telah mampu melakukan perjalanan jauh, dan pedagang Cina berlayar langsung ke berbagai pusat produksi di nusantara. Pelabuhan-pelabuhan di Jawa Timur menjadi lebih makmur dari sebelumnya.

Selama periode Jawa Timur, terdapat tiga periode dinasti yang bisa diidentifikasikan dengan jelas. Dan juga tiga gaya patung. Periode Kadiri, Singasari, dan Majapahit. Periode yang paling awal dan paling panjang dari ketiganya, yaitu Kadiri, hanya ada beberapa patung yang diukir sebelum tahun 1222. Patung-patung tersebut kecil dan relatif sederhana serta tampaknya tidak memiliki pola tekstil. Selama periode Singasari dari tahun 1222 hingga 1292, banyak patung diukir dari batu. Pada masa ini, tidak ada patung perunggu yang dibuat. Selama pemerintahan Raja Keṛtanagara, seni patung Jawa mengalami puncak pencapaian artistik. Ia menganggap dirinya sebagai Siwa dan Buddha selama hidupnya dan setelah kematiannya serta merupakan penganut praktik esoterik.

Memang, dengan otoritas religius dan politik sebesar itu memungkinkan Kertanegara untuk memanfaatkan keadaan yang muncul dari perdagangan Cina di nusantara untuk memperluas kekuatan ilahinya hingga ke luar Jawa. Pada abad ke-14, penghormatan dari penguasa luar negeri kepada raja Jawa dianggap sebagai hal yang lumrah.

Jumlah patung yang diukir dalam periode ini sangat banyak. Banyak dari patung-patung ini diukir dengan pola tekstil yang rumit dan detail. Banyak pola pada patung mencerminkan tekstil yang kemungkinan besar diperdagangkan dari Cina atau dunia Sassania di Asia Tengah, juga beberapa kawasan di Asia Barat. Patung-patung yang diukir, terutama selama periode Singasari, memiliki desain yang kompleks dan detail. Semua patung mengenakan pakaian bagian bawah, jaket bagian atas, dan selendang melintang di dada. Semua patung digambarkan dengan pola tekstil yang berbeda dan mendetail. Banyak yang mencerminkan desain lokal, mungkin tekstil yang dibuat di Jawa, tetapi beberapa mencerminkan tekstil yang mungkin diperdagangkan dari Cina.

Durga
Brahma
Ganesha
Bhairava

Dewi Pawarti dan Pengiringnya

Patung penting dari Dewi Buddha Parwati dan pengiringnya ini masih berada di situs Candi Singosari. Dua pendamping menemani sang dewi di kedua sisinya. Patung ini mengalami kerusakan yang cukup parah; kepalanya tidak lagi asli, dan sebagian dari alasnya sudah hilang. Tangannya berada dalam posisi anjalimudradi depan tubuhnya. Pakaian bagian bawahnya diukir dengan pola tekstil yang detail namun sudah memudar. Polanya terdiri dari lingkaran konsentris atau bersinggungan yang menampilkan hewan berkaki empat dan bebek. Pola ini menunjukkan desain yang bisa kita temukan di Asia Tengah, juga dari India barat, Burma, dan Tiongkok. Oleh karena itu, sekali lagi, desain pada patung Parwati ini mencerminkan posisi Jawa dalam perdagangan internasional.

Setelah melakukan studi tekstil dan lukisan secara seksama dan ekstensif dari India, Asia Tengah, Burma, dan Tiongkok, dapat ditarik kesimpulan bahwa beberapa contoh tekstil sangat cocok dengan pola pada patung ini. Contoh-contoh ini tidak diragukan lagi mengindikasikan bahwa pemahat pola unik ini tidak menggunakan pola tekstil Jawa melainkan tekstil dari Asia Tengah atau Tiongkok. Definisi bebek dalam pola, baik ditenun dari sutra atau dicetak pada kain katun, muncul pada banyak tekstil dan karya seni dinding. Tekstil telah menjadi bagian dari tradisi pemberian hadiah dan upeti selama ribuan tahun dan telah dibawa oleh para pedagang ke negeri-negeri asing.

Pola tekstil detil
Pola ini menunjukkan lingkaran dan motif bebek
Dewi Buddha Pawarti dan pengiringnya

Patung-patung Rusak

Di halaman Candi Singosari terdapat tiga patung kecil yang semuanya mengalami kerusakan yang cukup parah. Salah satunya adalah Prajnaparamita, sebuah patung dewi yang tidak dikenal, dan patung Dikpala penjaga arah mata angin. Ketiga patung ini dulunya dihiasi dengan pola tekstil, yang kini hampir seluruhnya hilang terkikis iklim yang keras di Jawa. Semua patung ini dihiasi dengan perhiasan yang rumit dan pola tekstil yang detail. Pola-pola tersebut muncul sebagai variasi dari bermotif kawung, motif kawung, yang membuktikkan bahwa motif yang sangat dihormati di Jawa ini memiliki uumur panjang, serta menyoroti bahwa tokoh-tokoh kerajaan berhiaskan pola khusus ini.

Arca tak dikenal
Arca Dikpala
Motif Kawung

Kemaharajaan Majapahit

Pintu gerbang Majapahit

Setelah Raja Kertanegara wafat pada tahun 1222, ibu kota pindah ke Majapahit. Selama beberapa tahun, penguasa baru dan putranya, yang menganggap diri mereka sebagai penerus Kertanegara, harus menekan pemberontakan di Jawa; baru pada tahun 1319, kekuasaan Majapahit berhasil dibangun dengan kuat di Jawa dengan bantuan prajurit terkenal Gajah Mada. Gajah Mada adalah pejabat tinggi negara selama masa pemerintahan Tribhuwana, putri Kertanegara (sekitar 1328–1350), dan pada masa ini, pengaruh Jawa dipulihkan di Bali, Sumatra, dan Borneo. Cicit Kertanegara, Hayam Wuruk, menjadi raja pada tahun 1350 dengan nama Rajasanagara.

Perdamaian terjadi selama periode Majapahit di Jawa, dan pulau Jawa menjadi sangat makmur. Orang-orang dari kepulauan timur membawa rempah-rempah mereka untuk diperdagangkan di Jawa dengan beras. Rempah-rempah ini kemudian diperdagangkan kembali dengan tekstil dari India dan Cina.

Kertarajasa, Raja Majapahit

Banyak candi besar maupun kecil dibangun. Pada candi utama di Candi Panataran pada setiap pintu masuk di setiap tangga dijaga oleh dua patung besar. Seorang pelayan wanita kecil menemani dvarapāla. Pola tekstil pada patung menggambarkan lingkaran kawung yang saling mengunci dalam bermotif kawung, bentuk yang sangat rinci. Di sekitar pinggul terdapat ikat pinggang dan ornamen, kemungkinan terbuat dari emas, yang menjuntai hingga ke depan kaki. Dvarapāla memegang gada besar. Di bawah lutut yang melapisi pinggul terdapat selempang lebar. Semua tekstil ini diukir dengan pola kawung. Desain ini menjadi identitas periode ini di Jawa Timur dan dikenakan oleh banyak patung yang didewakan sebagai raja dan ratu, serta citra dewa dewi. Hampir semua patung besar raja dan ratu Majapahit diukir dengan sinjang bermotif kawung, yang memiliki makna simbolis yang mendalam bagi raja dan ratu pada periode Majapahit. Pola ini kemungkinan dibuat dengan daun emas impor atau ditenun dengan benang emas dan tampak memiliki makna simbolis yang mendalam bagi para raja, mengingat hanya sedikit patung yang diukir dengan variasi dari pola ini. Bangsawan kecil dari patung-patung kecil dilarang menggunakan sinjang bermotif kawung yang luar biasa ini, bermotif kawung,pola sinjang dalam pahatan patung mereka.

Arca Dwarapala
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

.:: GALLERY ::.

Singhasari (15)
Singhasari (13)
Singhasari (9)
Singhasari (3)
Singhasari (8)
Photographed by NATASHATONTEY
32. Siva Lorong Jonggrong
32. Siva detail of the lower legs
40. Dvarapala Museum Sonoboduyo (1) (1)
40. Dvarapala Museum Sonoboduyo (3)
Load More

End of Content.

.:: VIDEO PATTERNED ::.