
Menelusuri Kekayaan Naskah Indonesia, Tantangan Literasi, dan Upaya Modern Menghidupkan Budaya Membaca
Warisan sastra Indonesia yang kaya, tercermin dalam naskah kuno dan tradisi cerita yang hidup, sangat kontras dengan tantangan literasi yang masih dihadapi negara ini. Meskipun buku fisik dan perpustakaan mengalami tekanan di era digital saat ini, keduanya tetap menjadi sumber pengetahuan, inspirasi, dan identitas budaya yang sangat penting. Artikel ini mengeksplorasi kekayaan naskah Indonesia, hambatan dalam membangun budaya membaca, serta upaya inovatif—baik di tingkat lokal maupun global—untuk melestarikan dan menghidupkan kembali kecintaan terhadap membaca bagi generasi mendatang.
Perpustakaan semakin tersaingi oleh media digital, namun buku fisik dan naskah tetap memiliki nilai yang sangat berharga.
Indonesia menempati peringkat rendah dalam literasi global, terutama disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap buku, bukan karena kurangnya minat membaca.
Meskipun demikian, Indonesia memiliki warisan naskah kuno yang kaya, banyak di antaranya diakui oleh UNESCO, seperti Babad Diponegoro, La Galigodan Panji cerita
Upaya penting untuk pelestarian naskah dilakukan di institusi seperti Gedong Kirtya di Bali, Perpustakaan Inggris di Inggris, dan Universitas Yale di Amerika Serikat.
Perpustakaan modern harus berkembang menjadi lebih menarik dan mudah diakses agar dapat menarik minat generasi muda. Perpustakaan Nasional Indonesia di Jakarta, yang merupakan perpustakaan tertinggi di dunia, menjadi contoh nyata dari visi ini—menggabungkan inovasi arsitektur dengan model yang menjanjikan untuk masa depan berbagi pengetahuan.
Di era digital yang serba cepat, di mana informasi dapat diakses dengan mudah hanya dengan sekali klik, peran perpustakaan tradisional dan buku fisik semakin berkurang secara signifikan. Namun, naskah bercahaya dan kaya isi tetap memiliki pesona dan nilai yang tak tergantikan. Mereka bukan hanya harta pengetahuan, tetapi juga menjadi sumber inspirasi dan refleksi yang lebih mendalam. Berbeda dengan informasi digital yang cepat berlalu, karya-karya ini menawarkan pengalaman yang abadi akan kreativitas dan sejarah manusia.
Indonesia, sebuah negara yang kaya akan budaya, menghadapi tantangan literasi yang serius—bukan karena kurang minat, melainkan akibat keterbatasan akses. Survei global tahun 2016 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal literasi. Masalah utamanya adalah kelangkaan: hanya ada satu buku untuk setiap tiga orang, sehingga kesempatan untuk membaca sangat terbatas. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat menerbitkan sekitar 400.000 judul baru setiap tahun, China hampir 600.000, Jepang 150.000, sementara Indonesia hanya menghasilkan sekitar 20.000 judul per tahun, meskipun memiliki lebih dari 60 juta pelajar.
Namun, hasrat untuk membaca itu ada. Ambil contoh cerita Air Haryono, seorang anak yang dulu lebih tertarik pada Lego dan olahraga daripada buku. Segalanya berubah ketika ia menemukan Harry Potter. Dunia fantasi itu memicu imajinasinya, yang kemudian membawanya untuk menjelajahi biografi dan karya nonfiksi budaya. Membaca membangun rasa percaya dirinya bahkan membantunya memenangkan sebuah kompetisi sekolah. Kisahnya membuktikan bahwa ketika diberi kesempatan, membaca dapat mengubah hidup anak-anak muda.
Sementara Indonesia menghadapi tantangan literasi, negara ini tetap unggul dalam warisan naskah kuno. Diperkirakan terdapat lebih dari 150.000 naskah kuno di Indonesia. Beberapa di antaranya telah mendapatkan pengakuan internasional melalui program UNESCO Memory of the World (MOW) program.
Di antara yang paling terkenal adalah Babad Diponegoro, sebuah otobiografi setebal 960 halaman yang ditulis oleh Pangeran Diponegoro selama pengasingannya di Manado. Naskah ini didaftarkan pada tahun 2013. Selain itu, ada juga I La Galigo, sebuah naskah Bugis monumental dari abad ke-18 hingga 19 yang terdiri dari 6.000 halaman, yang diakui oleh UNESCO pada tahun 2011 karena kebijaksanaan ekologis dan narasi epiknya. Panji Cerita Panji, yang didasarkan pada folklore pra-Majapahit tentang petualangan romantis, merupakan permata lain dari warisan sastra Indonesia.
Arsip yang memiliki nilai politik penting, seperti dokumen dari Konferensi Asia-Afrika tahun 1955, yang dipimpin oleh Indonesia yang baru merdeka, juga sedang diajukan untuk mendapatkan pengakuan UNESCO. Dokumen-dokumen ini mencerminkan kepemimpinan berani sebuah bangsa muda dalam proses dekolonisasi global.
Di seluruh Indonesia, naskah kuno bukan sekadar peninggalan—mereka adalah sumber kearifan hidup, kreativitas, dan kebanggaan budaya. Asthabrata, sebuah treatise kepemimpinan Jawa yang dilestarikan oleh keluarga kerajaan Pakualaman, menawarkan panduan abadi melalui kebajikan delapan dewa. Di bawah kepemimpinan Paku Alam X, ajaran ini telah dihidupkan kembali melalui edisi cetak dalam berbagai bahasa dan diubah menjadi pola batik ekspresif serta pertunjukan tari. Suryamulyarja Seri batik tersebut, misalnya, secara visual menginterpretasikan kembali nilai-nilai ini untuk para pemimpin masa kini, membuktikan bahwa filosofi kuno masih dapat menjadi panduan bagi tindakan modern.
di Bali, Gedong Kirtya perpustakaan melindungi lebih dari 2.000 lontar naskah—teks lontar yang telah diukir sejak masa kolonial. Didirikan pada tahun 1928 dengan dukungan kerajaan, institusi ini menjadi pusat penting dalam melestarikan bahasa Bali, ritual, dan sistem pengetahuan. Seni dalam merawat lontar sangat halus: teks-teks diukir menggunakan sebuah kerupak pisau khusus dan dipulihkan menggunakan minyak sereh serta abu dari kemiri yang dibakar. Mencakup berbagai topik mulai dari pengobatan hingga kosmologi, naskah-naskah ini disimpan dalam kotak khusus kropak khusus, melanjutkan tradisi berabad-abad dalam merawat dengan penuh perhatian.
Di seluruh dunia, institusi seperti British Library dan Universitas Yale menjaga warisan naskah kaya Indonesia. British Library menyimpan lebih dari 600 naskah Indonesia, dengan koleksi terbesar dalam bahasa Jawa. Berkat kolaborasi dengan institusi Indonesia dan dukungan dari dermawan S.P. Lohia, banyak naskah telah didigitalkan dan dapat diakses secara gratis secara online—sebuah inisiatif yang didukung oleh Sultan Hamengkubuwono X dan diluncurkan pada tahun 2017. Salah satu harta yang menonjol adalah Menak Amir Hamza, sebuah naskah Jawa beraksara pegon yang mengisahkan petualangan heroik paman Nabi Muhammad. Dengan lebih dari 3.000 halaman, ini merupakan naskah Indonesia berukuran satu jilid terbesar di British Library. Penyerahan salinan digital secara resmi dilakukan di Keraton Yogyakarta pada tahun 2019.
Sementara itu, Perpustakaan Sterling Memorial dan Beinecke di Universitas Yale menyimpan koleksi karya langka Indonesia yang mengesankan. Beinecke, terkenal dengan desain uniknya yang diterangi marmer, menyimpan barang-barang seperti Het Srimpi (1925), sebuah panduan berbahasa Belanda tentang tari kerajaan Jawa; Teater Baliyang diilustrasikan dengan gaya Batuan; Pustaha naskah-naskah dari suku Batak yang kaya akan pengetahuan obat-obatan tradisional dan ilmu gaib; serta sketsa kehidupan Bali awal abad ke-20 karya seniman Amerika Morris Stern. Koleksi-koleksi ini tidak hanya melestarikan warisan sastra Indonesia tetapi juga membuka peluang bagi audiens global untuk mengeksplorasi kedalaman budaya Indonesia.
Perpustakaan Nasional Indonesia, yang diresmikan pada tahun 2017 di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, merupakan gedung perpustakaan tertinggi di dunia—setinggi 27 lantai dengan tiga tingkat bawah tanah. Dengan luas lebih dari 50.000 meter persegi, perpustakaan ini menyimpan 2,6 juta buku, termasuk hampir 11.000 manuskrip, dan menerima rata-rata 2.000 hingga 3.000 pengunjung setiap hari.
Meskipun angka-angka ini menjanjikan, jumlahnya masih tergolong kecil dibandingkan dengan populasi pelajar Indonesia yang sangat besar. Namun, perpustakaan ini menawarkan sebuah model yang menjanjikan untuk masa depan. Dengan kenyamanan ber-AC, area baca yang nyaman, dan pameran interaktif, perpustakaan ini membuktikan bahwa perpustakaan masih bisa memikat generasi muda masa kini—asal didesain ulang dengan kreativitas dan kepedulian.
Tantangan ke depan bukan sekadar melestarikan buku, tetapi mengubah perpustakaan menjadi ruang yang dinamis dan inklusif untuk belajar, berimajinasi, dan membangun koneksi antaranggota masyarakat—tempat yang semenarik bioskop, namun jauh lebih kaya dalam kemungkinan.