Buka Kotak

Seni Wayang Jawa

WAYANG BEBER

Indonesia memiliki beragam jenis wayang, seperti wayang kulit (wayang dari kulit), wayang golek (wayang kayu), dan wayang beber (wayang gambar di atas kertas). Wayang beber merupakan pertunjukan bergambar yang dilukis di atas kain atau daluang, biasanya berukuran 4 meter x 70 sentimeter dan dibagi menjadi empat adegan (jagong). Dalang membawakan cerita dengan membuka setiap jagong secara berurutan.

Di antara berbagai bentuk wayang tradisional Indonesia, wayang beber menonjol sebagai seni pertunjukan gulungan yang langka dan kuno, yang memadukan lukisan, penceritaan, dan unsur ritual. Seni ini pernah mencapai masa kejayaannya pada masa Majapahit hingga era Mataram di Kartasura, namun kini hanya tersisa beberapa gulungan asli yang masih bertahan. Dalam artikel ini, kita akan menyelami sejarah yang memikat, makna budayanya yang mendalam, dan keindahan abadi wayang beber, menelusuri perjalanannya dari candi-candi suci hingga menjadi gulungan di atas daluang, kertas kulit kayu tradisional, untuk mengungkap apa yang masih ada dan apa yang mungkin masih bisa dihidupkan kembali.

WAYANG

BEBER

Indonesia boasts a rich diversity of wayang traditions—ranging from the iconic wayang kulit (shadow puppets) and wayang golek (wooden puppets) to the rare and ancient wayang beber. Wayang beber is a visual storytelling performance using scrolls made of cloth or daluang, each about 4 meters long and 70 cm wide. The scroll is divided into four illustrated scenes (jagong), which are gradually unfolded and narrated by a dalang (puppeteer).

Peneliti yang berbasis di Leiden, Victoria M. Clara, menyoroti ciri-ciri khas wayang beber, sementara ahli seni Primadi Tabrani menelusuri akarnya hingga era prasejarah Indonesia. Tradisi ini berkembang pesat pada masa Majapahit dan Mataram Kartasura, namun sejak itu mengalami penurunan yang signifikan, menjadikannya terancam punah.

Saat ini, hanya tiga gulungan wayang beber asli yang diketahui masih bertahan: Wayang Beber Joko Kembang Kuning di Desa Gedompol, Pacitan; Wayang Beber Remeng Mangunjaya di Desa Gelaran, Gunung Kidul; serta satu set yang tidak teridentifikasi yang disimpan di Museum Volkenkunde di Leiden, Belanda.

Menurut sejarawan J.L.A. Brandes, wayang adalah salah satu dari Sepuluh Elemen Kunci Budaya Pribumi Nusantara. Sementara epik seperti Ramayana dan Mahabharata dari India sering dipentaskan, Indonesia memiliki siklus pahlawan sendiri: kisah Panji dari Jawa Timur. Cerita-cerita asli ini, yang terukir di relief candi dan Gunung Penanggungan, merupakan inti dari wayang beber—tradisi yang kita jelajahi hari ini.

KISAHNYA

Beberapa candi peninggalan Majapahit di Jawa Timur dihiasi dengan relief yang menggambarkan kisah Panji. Ketika Dr. Lydia Kieven, seorang peneliti asal Jerman yang mengkhususkan diri pada seni Jawa Kuno dan tradisi Panji, mendaki Gunung Penanggungan dan mengunjungi Candi Kendalisodo pada tahun 1996, itu adalah pertama kalinya ia melihat relief Panji, dan pengalaman itu sangat menggugah. Selama bertahun-tahun, ia menjelajahi Jawa Timur untuk meneliti candi-candi yang menggambarkan sosok berjubah dan bertopi.

Candi Kendalisodo yang terletak di lereng Gunung Penanggungan dibangun sekitar tahun 1450 Masehi. Tempat ini merupakan situs istimewa yang terdiri dari bangunan berteras untuk pemujaan kepada para dewa dan leluhur, serta sebuah gua meditasi yang tertutup oleh dinding. Kedua bangunan tersebut dihiasi dengan relief pemujaan, kita dapat melihat panel panjang dengan gambaran indah dan memikat tentang seorang pria dan wanita yang berjalan di alam, lalu duduk bersama dengan penuh keintiman. Sang pria memainkan alat musik fiena, yang mirip dengan rebab dan memiliki dua resonator. Ia mengenakan topi Tekes. Gambaran alam dengan latar pegunungan, pepohonan, danau, pancuran air, serta jalan setapak digambarkan dengan sangat indah, seolah-olah kita ikut menyusuri perjalanan mereka menuju gunung.

Pada panel terakhir, pasangan tersebut digambarkan berdiri di tepi laut, bersiap untuk menyeberanginya. Cerita lengkapnya memang tidak diketahui secara pasti, namun dari topi Tekes yang dikenakan sang pria, ikonografi, serta gaya pahatan elemen alamnya, besar kemungkinan bahwa panel-panel ini menggambarkan Kisah Panji. Di dinding gua meditasi, terdapat relief yang menampilkan adegan dari Arjuna Wiwaha dan Bima Suci. Inti dari kisah-kisah tersebut adalah tentang meditasi dan memasuki lautan sebagai simbol pencarian pengetahuan yang tak terbatas.

Figur Panji di wayang batu (relief batu) yang diubah menjadi Wayang Beber terbuat dari kulit kayu murbei berkualitas tinggi yang disebut daluangTidak banyak di Indonesia yang melanjutkan tradisi pembuatan daluang, namun salah satunya adalah seorang pengrajin dari Bandung.

Karena penurunan pembuatan kertas daluang tradisional, pohon murbei, sumber utama bahan bakunya, sekarang menjadi langka. Untungnya, Mufid Sururi dari Bandung, seorang konservator kertas kuno yang berdedikasi, telah berhasil menanam pohon-pohon ini dan melestarikan proses pembuatan daluang tradisional.

Berbeda dengan kertas modern yang terbuat dari pulp dan mengandung aditif kimia, daluang dibuat murni hanya dengan air, tetap setia pada tradisi alaminya.

Banyak peradaban besar yang bangga dengan kertas tradisional mereka, Mesir dengan papirus, Jepang dengan washi, Papua Nugini dengan tapa, Korea Selatan dengan hanji, dan lainnya.

Pohon murbei, atau Broussonetia papyrifera, yang juga dikenal dalam bahasa Sunda sebagai pohon saeh, menghasilkan buah yang dapat dinikmati, dan kulit pohonnya dapat dijadikan kertas yang dikenal sebagai kertas murbei. Secara tradisional, kita mengenalnya sebagai daluang atau dluwang. Kulit pohon bagian dalam yang berwarna putih dikupas dan direndam selama 24 jam. Setelah itu, kulit pohon tersebut dipukul ratusan kali menggunakan alat dengan berbagai ukuran dan permukaan.

Kertas organik yang kuat dan memiliki tekstur indah ini merupakan bahan warisan Indonesia untuk melukis Wayang Beber, menggantikan kain dan ukiran batu dari candi-candi di Jawa Timur. 

Dengan pewarna alami, seperti merah dari suruh (betel leaves), hitam dari arang, putih dari tulang yang dibakar, dan bahan organik ramah lingkungan lainnya, tidak mengherankan jika setelah ratusan tahun, warna-warna dan lukisannya masih tetap indah dan terang.

Hanya ada tiga gulungan Wayang Beber kuno yang terbuat dari daluang yang tersisa di dunia hingga saat ini hanya tiga gulungan Wayang Beber kuno. Yang pertama adalah Wayang Beber Desa Gedompol dari Pacitan, Jawa Timur, yang dilestarikan oleh keluarga Tri Hartanto. Yang kedua berasal dari Desa Gelaran di Gunung Kidul, Yogyakarta, hanya sejauh satu jam perjalanan dari Pacitan, dan dirawat oleh keluarga Wisnu Utomo. Yang ketiga disimpan jauh dari tanah air, di Museum Volkenkunde di Leiden, Belanda.

Melalui edisi kali ini Buka Kotak — Wayang Beber: Riwayatmu Kini— kami menelusuri cerita di balik gulungan-gulungan yang masih ada ini, mengeksplorasi keindahan abadi mereka, mengungkap apa yang membuat masing-masing unik, dan merenungkan bagaimana mereka dapat terus menginspirasi dan berkembang di zaman sekarang.

guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

.:: GALLERY ::.

Beber (28)
Beber (27)
Beber (26)
Beber (25)
Beber (21)
Beber (20)
Beber (19)
Beber (16)
Beber (15)
Beber (14)
Load More

End of Content.

.:: VIDEO WAYANG BEBER ::.